Bintang Berkonde di langit Boti
![]() |
Dokumen Yayasan Tanpa Batas |
JIKA KAU MELIHAT
bintang-bintang di malam hari, itulah mereka. Terlihat tidak bergerak, tetapi
itu hanya di matamu. Sejatinya mereka sedang beraktivitas. Bintang-bintang di
Boti, baik yang berkonde maupun yang tidak, sama-sama berjuang menerangi
kampung dengan sinarnya yang redup.
Suku Boti
memegang teguh kepercayaan Halaika. Mereka meyakini adanya dua penguasa alam,
yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah adalah ibu yang mengatur, mengawasi, dan
menjaga ke-hidupan alam semesta beserta isinya. Tentu saja manusia ada di
dalamnya.
Sedangkan Uis
Neno adalah bapak yang menguasai alam baka. Dialah yang memutuskan seseorang
masuk surga atau neraka. Tentu saja perbuatannya selama hidup di dunia menjadi
dasar pertimbangan utama.
Suku Boti adalah
penghuni asli Pulau Timor, keturunan suku kuno Atoni Meto yang bekas pusat
kerajaannya berjarak 40 kilo-meter dari So’e, ibu kota Kabupaten Timor Tengah
Selatan. Situs bekas kerajaan itulah yang kini secara administratif menjadi
Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten TTS, Nusa Tenggara Timur.
Letaknya di
tengah-tengah pegunungan sehingga agak sulit diakses. Butuh kesabaran dan upaya
ekstra untuk sampai ke tem-pat itu. Jalannya tak beraspal, naik turun,
berliku-liku, serta diapit tebing dan jurang yang curam seakan menyembunyikan
kecantikan peradaban Boti yang memiliki sejarah panjang.
Bisa dibilang,
Boti kini telah terkubur modernisasi dan per-kembangan zaman. Untuk itu warga
Boti kini hidup sederhana de-ngan tetap memegang teguh tradisi leluhur mereka.
Di zaman yang serba modern ini orang Boti menggantungkan hidup sepenuhnya
kepada alam.
Mereka dipimpin
oleh seorang usif, gelar untuk pemimpin tertinggi yang juga tetua adat dan
spiritualis. Usif Nama Benu baru saja dilantik menggantikan ayahnya, Usif Nune
Benu yang wafat pada Maret 2005.
***
Kabut tipis
menyelimuti langit Boti pagi itu. Matahari yang mengintip dari cakrawala tak
mampu membiaskan sinarnya ke desa ini. Rumah-rumah Boti, yang bermodel panggung
berkaki rendah, berbentuk bulat, dan beratap rumbia belum menampakkan
aktivitasnya.
Aku berjalan
kaki menyusuri jalanan tanah yang masih alami, tanpa aspal dan batu. Ini adalah
jalan penghubung utama antar desa di sini. Beruntung saat itu tidak turun hujan
sehingga jalanan menjadi kesat tidak becek. Bersamaku ada penerjemah bahasa
Timor, Bernadus Neolaka, yang jago memahami penuturan Usif.
Setelah tiga
puluh menit berjalan kaki dari tempatku meng-inap, kami telah sampai ke depan
istana Raja Boti yang disebut sonaf. Di pintu gerbangnya kami disambut oleh
seorang laki-laki paruh baya memakai baju bergaris dilengkapi kain adat Boti
sebagai ikat pinggang. Rambut dikonde khas lelaki Boti dan tak memakai alas
kaki.
Ia dengan ramah
menyambut kami dan segera membukakan pintu pagar, lalu mengantar kami menuju
sonaf melewati tangga batu. Lingkungan di sini hijau dan sejuk karena
dikelilingi pohon-pohon yang rindang. Suara kicauan burung yang bermain-main di
ranting-ranting pohon turut menyambut kedatangan kami.
Meskipun banyak
pohon di lingkungan sonaf ini, namun tak selembar daun pun aku lihat di
bawahnya. Bersih, asri, dan teratur. Seirama dengan
sonaf, rumah-rumah di sekitarnya masih tradisional, berdinding bebak, dan
beratap alang-alang. Bebak dan alang-alang itu mereka buat dari daun pohon
gewang yang banyak tumbuh di daerah ini.
Kami tiba di
pintu masuk sonaf, Jalan setapak batu berundak-undak yang kami lalui ini
rupanya melintasi perkampungan Boti. Jalan ini berujung pada sonaf Raja Boti
yang bangunannya kontras dengan rumah sekitar. Bangunan beratap seng berdinding
kayu yang bercat putih ini tampak megah dibanding rumah lainnya yang beratap
jerami. Inilah sonaf atau istana Raja Boti.
Mataku melirik
sekeliling masih dengan tatapan tak percaya sudah tiba di istana raja. Aku
dikejutkan dengan sebuah tutur “Tok bi le i pah tuan,” yang tak begitu jelas
aku pahami. Asalnya dari pria paruh baya yang agaknya kepala rumah tangga di
sonaf ini. Namun gerak tubuhnya bisa aku tebak, ia mempersilakan kami duduk di
kursi yang telah disediakan. Rupanya kedatangan kami sudah ditunggu.
![]() |
Photo by Alexander Mering |
Spontan,
penghormatan kami berikan dengan cara berdiri sambil setengah membungkuk dan
mengucap salam di hadapan-nya. Sembari memberi hormat dengan membungkukkan
badan,aku meletakkan oko mama (tempat sirih) yang berisi pinang dan
perlengkapan bersirih ke atas meja. Aku mengutarakan maksud kunjungan ini dalam
bahasa Indonesia, lalu Bernadus menerje-mahkannya ke dalam bahasa Dawam, bahasa
asli orang Timor.
Raja mengangguk-angguk
dan melempar senyum ke arahku. Usif sebenarnya mengerti bahasa Indonesia,
tetapi tidak dapat mengucapkannya. Setelah kami berbincang beberapa saat,
seorang laki-laki paruh baya menghampiriku dengan cara berjalan berjong-kok. Ia
melangkah dengan kaki kirinya selalu berada sedikit di depan kaki kanan sambil
kedua tangannya memegang oko mama yang diangkat tinggi melewati kepala.
Sesampainya di
depanku ia menyodorkan oko mama tersebut lalu meletakkannya ke atas meja.
Sebuah pemandangan menarik yang membuatku terkesima. Beginilah cara mereka
menghor-mati tamu. Aku melirik Bernadus Neolaka. Ia mengerti maksudku, lalu
berbisik, “Itu simbol peghormatan adat Boti yang masih asli.” Dalam bahasa
Dawam, Usif mempersilakan kami menikmati mi-numan teh dan sirih pinangnya.
Kami segera
menuruti permintaannya sebagai tanda hormat. Aku ambil daun sirih dan buah
pinang dari oko mama. Di atas daun ini aku bubuhkan kapur, lalu aku masukkan ke
mulut dan aku kunyah bersama pinang. Rasanya pahit bukan kepalang, ham-pir
muntah aku dibuatnya.
Cuih! Cairan
merah kental keluar dari mulutku dan segera aku ludahkan ke bubungan bambu yang
telah terisi separuh. Mulut dan bibirku seketika berubah menjadi merah,
kepalaku sedikit pening. Aku berusaha sekuat tenaga mengabaikan rasa sepat dan
pahit yang hampir melumpuhkan lidah dan tenggorokanku ini.
Telingaku terasa
panas. Sesekali aku coba memegangnya, se-makin lama semakin terasa seperti
bertambah tebal kulitnya. “Tak salah lagi, aku mabuk pinang,” gumamku dalam
hati. Kudengar Bernadus masih berbicara dengan usif.
Dalam pengaruh
pinang, aku masih bisa berbincang-bincang dengan usif dan mengajukan beberapa
pertanyaan. Kulihat dari mimiknya, ia tampak senang dengan kedatangan kami
berdua ke istananya.
Kunyahan sirih
pinang di mulutku sudah hampir habis tatkala segerombolan laki-laki dewasa
berjumlah belasan orang mendatangi kami. Mereka berdiri di ruang tamu yang luas
itu. Salah seorang dari mereka memintaku berdiri di hadapan mereka. Seorang
lelaki paruh baya muncul dari kerumunan mereka dan duduk bersila di depanku,
membelakangi rombongan.
Ia bertutur
menggunakan bahasa Dawam yang tak bisa lang-sung aku pahami. Agaknya ini adalah
syair-syair yang berisi ung-kapan pesan-pesan tertentu. Setelah sebaris kalimat
ia ucapkan, teman-temannya yang berbaris persis di belakangnya menyahut dengan
kata-kata yang serempak.
Aku terbawa
dalam suasana hikmat mendengar pantun-pantun yang dituturkan rombongan
laki-laki paruh baya berkonde itu. Dengan berbaju jubah bermotif Boti dan
balutan sarung tradisional, mereka terlihat begitu kompak.
Walaupun tidak
mengerti bahasanya, tetapi aku bisa merasa-kan syair itu sangat kuat muatan
filosofinya dan sarat makna. Ada ketulusan dalam keramahan pada acara yang
disebut Natoni ini.
Di penghujung
acara, aku dikalungi selendang khas Boti sebagai tanda diterima kunjungannya.
Perasaan haru dan bangga bercampur di benakku. Aku merasa tersanjung dengan
semua penghormatan ini. Seumur hidup di Kota Kupang aku tak pernah mendapatkan
seremoni sambutan semeriah ini.
Natoni merupakan
ungkapan pesan-pesan yang dinyatakan dalam bentuk syair-syair bahasa kiasan
adat yang dituturkan secara lisan oleh seorang penutur (atonis). Dilakukan
dengan di-temani oleh sekelompok orang sebagai pendamping yang dikenal dengan
sebutan Na He’en. Kata-kata dalam Natoni adalah petuah bijak dan pengharapan
yang ditujukan kepada manusia ataupun kepada para arwah orang mati atau dewa.
Natoni juga
sarana komunikasi tradisional yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan
tertentu baik kepada sesama warga maupun kepada para leluhur. Natoni biasanya
dituturkan dalam rangka upacara adat baik adat perkawinan maupun kematian, juga
acara-acara seremonial lainnya; misalnya saat penyambutan dan pelepasan tamu.
Kami adalah pria-pria beruntung yang mendapat kehormatan disambut dengan natoni
di hadapan Raja Boti.
Setelah pesta
penyambutan ini selesai, kami kembali berbin-cang. Aku menanyakan kepada Usif
tentang pakaian adat yang dikenakannya. “Inilah pakaian adat kami yang juga
adalah pakaian sehari-hari yang kami tenun sendiri,” katanya dengan bahasa Dawan.
“Lalu kenapa rambut laki-laki
Boti dikonde?” tanyaku lagi.
“Rambut dikonde karena kami
sangat menjunjung tinggi ke rapian, keteraturan, dan yang paling kami percayai
bahwa konde juga merupakan sebuah simbol kedewasaan,” jawab Usif mantap dengan
suara pelan, tetapi jelas.
“Konde rambut yang digunakan oleh
kaum pria,” lanjut Usif, “merupakan tanda hubungan dengan yang ilahi dan
leluhur. Simbol konde tersebut memainkan peran penting karena menun-jukkan
identitas dan mengandung nilai-nilai kehidupan yang terus dipelihara dan
dilakukan. Konde rambut yang dipakai oleh para pria juga menunjukkan bahwa
mereka taat terhadap perintah Uis Pah.”
Konde juga
merupakan warisan leluhur sehingga dengan ber-konde orang Boti menghargai para
leluhurnya. Apabila ada warga yang sudah tidak lagi menganut kepercayaan
Halaika, rambutnya akan dipotong sehingga dengan sendirinya tidak dapat
mengena-kan konde, yang itu menyimbolkan nilai-nilai yang membentuk identitas
orang Boti.
Maka dari itu,
dari segi penampilan sangat jelas bedanya orang Boti asli dan warga Suku Boti
yang sudah memeluk agama Kristen Protestan ataupun Katolik, walaupun mereka
tetap Suku Boti, tetapi tidak lagi berkonde rambutnya.
Perbincangan
kami semakin intens seiring keluarnya suguhan hangat yang menggugah selera. Teh
hangat dan pisang rebus serta pisang goreng, semuanya segar seperti baru
dimasak. Sajian itu ditempatkan di sebuah wadah dari anyaman daun. Piring dan
sen-doknya terbuat dari batok kelapa dan gelasnya dari bambu.
Dalam
perbincangan yang panjang dan makin akrab ini, kami melahap semua suguhan tanpa
tersisa. Setelah puas mengobrol, kami pun berpamitan. Setelah memberi hormat
dengan cara yang sama saat datang tadi, aku keluar dari istana mungil ini dan
kembali ke rumah Bernadus Neolaka, menyusun rencana untuk esok pagi.
Aku menghabiskan
sore ini dengan berjalan kaki berkeliling menyusuri lorong-lorong di antara
rumah-rumah unik di kampung magis ini. Daerah yang luas dipenuhi rimbun
pepohonan ini aku jelajahi setiap lekuknya. Kemilau jingga mentari senja
menghilang ketika aku memasuki lembah.
Kini hampir
semua berwarna cokelat. Warna sayu rumput kering dan pohon kasuari begitu
kontras dengan langit yang biru. Keindahan ini memudar berganti gelap seiring
terbenamnya ma-tahari. Di atas gunung, kabut berarak menyelimuti perkampungan
yang menjadi dingin membeku di malam hari.
Dalam gelap yang
mulai menyelubungi seluruh sudut Boti, aku merasakan kedamaian dalam suasana
mistis. Boti yang dulu merupakan pusat kerajaan, kini tak lebih hanya kampung
sunyi yang nyaris tak terjamah teknologi.
Rumah-rumah
tradisional yang beratap daun dan berdinding pelepah gewang, terlihat lengang
dan misterius. Malam belum menjelma sempurna, tetapi dari rumah-rumah itu tak
ada suara. Hanya gelap dan bisu. Aku tercekat, kehidupan macam apa yang ada di
Boti ini?
Aku segera
kembali ke rumah Bernadus Neolaka yang asri. Rumah panggung tradisional
berdinding pelepah gewang yang arsi-tekturnya lugas, hanya persegi dengan atap
alang-alang. Di depan-nya terdapat teras kayu yang sudah halus karena sering
diduduki.
Di bawah pohon
yang rindang, di depan rumah Bernadus Neolaka, kami melanjutkan perbincangan
yang tak tuntas kema-rin. Dalam perbincangan itu aku ditemani dua orang
lainnya, yaitu Bapak Nahor dan Bapak Heka Benu.
Aku menengadah
ke langit. Sudah lama sekali tak bertatap muka dengan bintang-bintang yang
berkelip dan saling menggoda antarsesamanya. Begitu indah malam ini. Kepada
bintang-bintang inilah orang Boti suka menitipkan
harapan agar bisa menjadi sepertinya, tinggi dan besar tetapi tetap selalu
tampak kecil.
Aku membiarkan
Bernadus dan dua temannya mengobrol. Sementara aku menikmati suasana malam
sambil duduk di kursi malas yang aku seret menjauh dari pohon, agar aku dapat
berceng-kerama dengan bintang-bintang yang spektrum sinarnya tampak seperti
kepala-kepala lelaki Boti yang berkonde.
Malam semakin
larut, pembicaraan mereka semakin seru meski suaranya mulai parau. Minuman
alkohol penghangat badan dalam sloki beredar di antara kami dengan cara saling
mengumpan sesuai urutan.
Pukul dua dini
hari aku pamit undur diri, lalu meringkuk menghadap dinding pelepah yang
berlubang persis di depan bola mataku. Aku terlalu lelah dan ingin beristirahat
malam ini, lagi-pula aku harus menyimpan tenaga untuk petualangan besok yang
lebih menantang lagi.
***
Pagi itu timbul keinginanku
berkunjung ke rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Balzasar Benu
namanya. Aku mengenal pria ini saat pertama kali berkunjung untuk melakukan
survei awal untuk melaksanakan sebuah program, tepatnya bulan September 2011.
Perkenalan kami
berlanjut saat program dilaksanakan di wilayah ini dan ia terlibat sebagai
salah satu kader potensial di wilayah Boti karena sangat memahami keberadaan
suku ini. Darinya aku ingin menggali lebih jauh tentang budaya Boti yang
eksotis.
Suasana pagi di
Boti adalah hal yang paling aku sukai. Udaranya sejuk dengan suara burung
bercuit di mana-mana. Saat-saat seperti ini, para perempuan Boti sibuk di
dapur, dibantu anak-anak. Ada yang menimba air, mencuci piring, dan menyalakan
tungku. Sementara bapak-bapak pergi berkebun.
Penampilan
anak-anak Boti itu lucu dan asyik dilihat. Mereka memakai sarung sejak umur
enam tahun. Sarungnya diikat di pinggang dengan cara pertemuan dua sudut ujung
sarung disimpul pada pinggang sebagai pengikat sehingga bagian sarung yang
lebar akan melingkar menutupi bagian bawah dan membiarkan rumbai-rumbai sarung
ada di depan sebagai hiasan sehingga sangat indah dipandang.
Dari kecil
mereka sudah terlatih bekerja berat, terutama meng-ambil air dengan cara naik
turun bukit setinggi 300 meter dengan memikul atau menenteng ember. Kebutuhan
air mereka cukup tinggi, selain untuk makan, minum, dan kebutuhan rumah tangga,
mereka membutuhkannya pula untuk mencukupi kebutuhan air bagi aktivitas
beternak kambing, sapi, atau ayam.
Selama 30 menit
berjalan kaki, sampailah aku ke tempat yang dituju. Rumah yang aku kunjungi ini
berbentuk pendopo yang luas. “Selamat pah tuan. Selamat Ahoit,” sapaku dalam
bahasa dan aksen khas Boti.
Sejenak kemudian
datanglah seorang pria bertubuh kekar. “Wah, sudah bisa jadi orang Boti nih,”
timpalnya. Aku melempar senyum sambil mendekat dan menyalaminya. Sambutan
Balzasar Benu masih sehangat sambutannya pada kunjunganku sebelum ini.
Kehangatan orang-orang Boti dalam menyambut tamu memang luar biasa. Hal itu
karena mereka percaya, tamu dapat membawa berkah dan kebaikan. Pantang warga
Boti menolak tamu yang da-tang, bahkan akan memberi sambutan yang paling
meriah.
Seperti biasa,
sepiring sirih pinang memulai obrolan kami. Pak Boy, demikian Balzasar Benu
biasa dipanggil, segera meramu sirih pinang dan menjejalkan ke mulutnya. Aku
memilih menjadi penonton saja, cukup sekali aku mencoba sirih pinang di rumah
Raja Boti dulu, aku tak ingin megulanginya.
“Kenapa Pak Boy
tidak berkonde seperti laki-laki lain di sini?” tanyaku membuka perbincangan.
Rasa penasaranku tentang ini sudah lama kupendam dan baru kali ini bisa aku
lontarkan.
Pak Boy tersenyum. “Dulunya aku
juga menganut kepercayaan Halaika. Namun saat ini sudah memeluk salah satu
agama, yaitu Kristen Protestan sehingga atribut ini aku tinggalkan,” katanya.
Lagi pula kepercayaan baru ini mengharuskannya memotong ram-but sehingga tak
lagi bisa ditancapi konde.
Pak Boy adalah kepala desa di
Boti. Menurutku ia salah satu kepala desa yang memiki visi yang jelas.
“Keunikan dan keaslian kampung inilah yang mendorong aku untuk berbuat sesuatu
yang bermanfaat untuk anak cucu kami nanti,” tutur putra asli daerah ini Sejak
terpilih jadi kepala desa, kata Boy, ia memberi kelelu-asaan dalam
mengembangkan berbagai program baik oleh peme-rintah maupun lembaga-lembaga
sosial termasuk Program Peduli di Boti terutama menerobos kebiasaan-kebiasaan
sakral bagi Suku Boti, salah satunya terkait dengan pendidikan.
Sebagai
informasi, bagi orang Boti, sekolah adalah momok ka-rena anak-anak yang
bersekolah dianggap tidak lagi bisa menjaga marwah dari ritual suku ini. Hal
itu memang sudah terbukti, anak-anak Boti yang berpendidikan tinggi biasanya
tidak lagi mengikuti ritual-ritual adat yang semestinya mereka lakukan.
Itulah sebabnya
sampai saat ini jumlah anak Boti yang berpen-didikan tinggi sangat sedikit.
Selain itu, ada juga beberapa anak yang ingin bersekolah, tetapi karena
ketiadaan legalitas dokumen sehingga anak-anak yang sudah bersekolah pun harus
dihentikan oleh orang tuanya sebelum waktunya tamat.
Namun saat ini
setelah ada intervensi program peduli, ma-salah legalitas dokumen sipil telah
terselesaikan. Sebagai kepala desa, Pak Boy berupaya mendobrak kebijakan Raja
Boti yang tidak begitu suka anak-anak masuk ke sekolah formal.
Dulunya Raja
Boti tidak memperbolehkan warganya berseko-lah. Akan tetapi, saat ini sudah
diperbolehkan, meskipun masih terbatas untuk tingkat SD—SLTP. Pada
kenyataannya, yang terus bersekolah sampai SLTA juga tidak dipermasalahkan.
Lambat laun sekat tradisi dalam hal ini semakin terbuka saja.
Bahkan, saat ini
sudah ada kebijakan khusus dari Raja Boti bahwa anak-anak yang bersekolah
formal di Boti masih boleh mengikuti ritual adat dan keagamaan. Ini merupakan
hal baru karena dahulu anak-anak yang bersekolah formal langsung dicoret dari
kegiatan ritual keagamaan.
Bahkan, dahulu
anak yang masuk sekolah formal akan dikelu-arkan dari suku Boti. Namun sekarang
aturannya sudah berbeda, sepanjang mereka masih bersekolah di daerah Boti, maka
masih dianggap masyarakat adat Boti. Akan tetapi, apabila mereka
me-lanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi dan harus bersekolah di luar Boti,
anak tersebut harus keluar dari Suku Boti.
Selama ini
ide-ide Pak Boy sebagai kepala desa memang berseberangan dengan ide-ide Raja
Boti. Pak Boy sebagai orang yang memegang otoritas desa memberi dukungan penuh
dengan cara menyiapkan administrasi dari desa dan legalitas dokumen sebagai
persyaratan masuk sekolah.
Bahkan, saat ini
ia sedang mempersiapkan langkah-langkah ad-vokasi bersama-sama dengan Yayasan
Tanpa Batas dalam Program Peduli guna mengajukan usulan di tingkat Kabupaten
dan Provinsi untuk pendirian sekolah menengah atas di Boti dan mengembang-kan
sanggar anak dengan berbasis kearifan lokal, terutama bagi anak-anak yang tidak
ingin bersekolah di sekolah formal.
Aku mengajukan pertanyaan lagi,
“Bagaimana mempertahan-kan tradisi Boti di era modernisasi ini?”
Dengan wajah datar dan suara
tegas, ia menerangkan, dirinya menyadari betul bahwa salah satu dampak
pembangunan adalah pengabaian tatanan sosial dan budaya masyarakat adat di
suatu da-erah, termasuk di Boti. Namun semakin terdidik seseorang, pada dasarnya
ia akan semakin peduli terhadap budaya dan tradisi yang menjadi kekayaan
bangsa.
Untuk itu ia meminta masyarakat
tidak mempertentangkan antara masalah adat dan pembangunan. “Keduanya dapat
berjalan beriringan,” katanya.
“Luar biasa pemikiran tokoh yang
satu ini,” gumamku dalam hati. Pria ini, walaupun sudah tak berkonde, tetapi
tetap mencintai budaya aslinya.
***
Tak terasa saat
berpisah pun tiba, aku harus kembali ke Kupang untuk melanjutkan rutinitasku
lagi selepas pulang dari Boti. Pagi itu masih ingin kunikmati indahnya suasana
di desa budaya ini. Di puncak Gunung Simpang Tiga terdapat sebuah tugu yang
letaknya di tengah-tengah puncaknya. Lamunan pagiku pun semakin leng-kap karena
dapat melihat sekeliling wilayah ini dengan damai.
Aku lihat pohon
Deras dengan bunganya yang indah seolah sombong dengan warna merahnya yang
merekah indah. Di musim semi seperti ini pohon-pohon Deras berdiri tegak di
antara rumah-rumah warga. Aroma bunganya semerbak menghiasi udara sejuk. Di
pagi yang masih remang itu, aku mengelilingi wilayah ini untuk menghirup udara
segar yang tak mungkin kudapat saat di Kupang esok hari.
Matahari semakin
cerah saat aku mempersiapkan kepulang-anku ke Kota Kupang. Selesai mengemas
seluruh barang bawaan, aku menyempatkan diri ke rumah Pak Boy untuk berpamitan.
Rupanya Pak Boy
bersama istrinya mempersiapkan sebuah ritual kecil saat aku mengucapkan pamit.
Sebelum pulang aku diminta berdiri berhadapan dengan Pak Boy yang dikelilingi
oleh keluarganya untuk memberikan oleh-oleh tenun yang dikalungkan sendiri oleh
Pak Boy. Upacara kecil ini disaksikan seluruh kelu-arga Pak Boy dengan
sukacita. Mereka juga mengucapkan terima kasih balik atas kunjunganku.
Satu untaian
kata yang dilontarkan kepadaku sembari meng-alungkan selendang adalah “Koenom
amfain ahoit teu ho sonaf,” (Selamat Jalan menuju tempat tinggalmu) kata Pak
Boy sambil menepuk pundakku yang diakhiri dengan jabat tangan yang sangat erat
dan cium hidung. Inilah salam perpisahan Boti yang khas.
Air mataku
meleleh di pipi, tak mampu dibendung karena rasa haru atas keramahan yang aku
dapatkan di desa penuh kesahajaan ini. Mentari pagi pun mulai menampakkan
wajahnya di antara gunung dan pepohonan Boti. Ia mengingatkanku bahwa sudah
tiba saatnya untuk bergegas kembali ke Kupang.
Pagi itu sudah
cukup terang untuk melihat kesederhanaan, kemandirian, kesungguhan, ketabahan,
kelurusan, dan keteguhan hati masyarakat Boti. Masih kunikmati indahnya alam
yang mem-bawa irama kehidupan yang telah berjalan selama ratusan tahun di Boti.
Keindahan Boti tersembunyi dibalik pegunungan dan kini keasliannya tengah diuji
oleh gerusan modernisasi.
Selendang tenun
hadiah dari keluarga Pak Boy masih terkalung di leherku. Semoga suatu hari
nanti aku akan bertandang kembali, dan belajar banyak hal dari pria-pria boti
yang hangat, bersahaja, dan menjunjung tinggi nilai-nilai.
Dalam hati, aku
berharap ada kesempatan datang kembali ke rumah orang ini. Darinya aku mendapat
satu pelajaran penting dari figur Pak Boy. Ia adalah orang yang teguh keyakinannya,
tetapi luas wawasannya sehingga penuh toleransi. Ia tak berpendidikan tinggi,
tetapi pintar dan bijaksana. Ia selalu belajar dari alam seki-tar dan tidak
menutup diri terhadap pengetahuan.
Gayanya memang
berbeda dengan raja. Namun, antara kepala desa dan raja, menurutku terjadi efek
saling melengkapi. Kedua tokoh ini sama-sama berpengaruh dalam dua sisi yang
berbeda, yaitu dalam hal adat dan modernitas. Walaupun yang satu masih
berkonde, sedangkan yang satu sudah tak berkonde, semangat juang mereka untuk
membangun kampung yang mereka cintai ini patut diacungi jempol.
Bagai bintang-bintang yang kita
lihat di malam hari, itulah mereka, Bintang Berkonde di Langit Boti. Terlihat
tidak bergerak, tetapi sebenarnya mereka sedang beraktivitas.