Indahnya Pulau Kera Tak Seindah Harapannya
PAGI ITU ANGIN bertiup lembut di Pantai Oeba, Kupang,
Nusa Tenggara Timur. Embusannya membawa
gelombang kecil yang menyiratkan nuansa damai dan bersahabat. Berbeda dengan
bulan-bulan di penghujung dan awal tahun, pada akhir bulan Agustus seperti ini
gelombang laut sangat memanjakan perahu-perahu yang tiap hari hilir mudik dari
Pantai Oeba ke Pulau Kera.
Deretan
perahu motor berjejalan di dermaga menunggu pe-numpang yang hendak pergi ke
pulau yang hanya tampak seperti sebuah titik kecil dalam peta itu. Pulau
bernama aneh itu luasnya hanya 48 hektare dan merupakan bagian dari Kawasan
Wisata Taman Laut Teluk Kupang. Kalau dilihat dari Kota Kupang, bentuk pulau
itu bulat telur dengan salah satu ujungnya sedikit meruncing mirip buah pir.
Aku
berdiri mematung sambil melempar pandangan ke salah satu perahu tercantik di
kumpulannya. Perahu itulah yang akan kupilih untuk mengantar ke Pulau Kera yang
aku dambakan. Tak sabar rasanya aku duduk di geladak kayunya yang terlihat
kokoh tanpa cela.
Huup... sebuah langkah panjang berhasil membawaku dari bi-bir dermaga ke geladak perahu. “Apa kabar, Pak?” tanyaku sambil menjabat tangan nakhoda yang juga pemilik perahu. Sebenarnya aku tak mengenalnya, bahkan baru bertemu sekali ini. Namun, setidaknya sapaanku dapat sedikit mencairkan suasana.
“Alhamdulillah, sehat Pak,” jawabnya ramah.
“Berapa lama kita bisa sampai di pulau..?” tanyaku.
“Kalau cuacanya bagus begini, paling lama 45 menit sudah sampai,” jawabnya.
“Oke, kalau begitu kita berangkat sekarang, ya?” pintaku.
“Baik, Pak,” balasnya sembari beranjak menuju mesin perahu dan menghidupkannya.
Dalam
beberapa waktu kemudian, perahu berwarna hijau itu mulai mengarungi lautan.
Lambungnya yang ramping bera-yun-ayun mengikuti irama gelombang yang tak pernah
berhenti. Hamparan air yang luas tak terbatas membawa lamunanku masuk ke
dasarnya yang dalam dan dingin, sedingin hatiku saat itu.
Tiga
puluh menit berlalu tanpa terasa. Perahu berharga sewa 300 ribu rupiah itu
merapat ke bibir Pulau Kera yang berupa pantai berpasir putih. Sinar mentari
yang menembus kumpulan buih yang terbawa ombak tampak bagaikan mutiara berkilau
yang memancarkan cahaya. Perahu klotok yang aku tumpangi masuk ke tempat kosong
di sela-sela deretan perahu-perahu tradisional yang ditambatkan. Perahu-perahu
yang berjajar bergoyang seirama bagai dalam sebuah tarian yang padu.
Sebelum
turun dari perahu mataku disambut pemandangan segerombolan anak-anak Suku Bajo
yang bermain pasir putih di dekat haluan yang ditambatkan dengan tali nilon.
Merekalah anak-anak Pulau Kera. Teriakannya yang keras bersahutan dengan bunyi
ombak yang berdebur syahdu. Suasana ceria merasuk ke benakku yang dari tadi
memuji keindahan alam pulau kecil ini.
Pulau ini
tampak bagaikan lapangan hijau di tengah lautan. Dengan titik tertinggi hanya
tiga meter di atas permukaan laut, pulau ini sempurna untuk sekadar singgah dan
bermain. Namun, karena tak ada hutan ataupun mangrove, pulau ini tidak cukup
baik untuk menunjang kehidupan dalam jangka panjang.
Pulau
Kera adalah sebuah daratan cantik di sebelah barat Kota Kupang, Nuta Tenggara
Timur. Secara administratif ia ma-suk wilayah Desa Ulasa, Kecamatan Semau,
Kabupaten Kupang. Keindahannya menjadi buah bibir para wisatawan.
Sebelumnya
aku hanya mendengar cerita tentang pulau ini, tetapi sama sekali belum pernah
menyentuhnya. Gambaranku tentang Pulau Kera sebelumnya aku peroleh dari
videotron yang terpampang di perempatan jalan depan kantor gubernur NTT. Saat
ini, aku menyaksikan dan menyentuhnya sendiri. Pujian orang tentang pulau ini
ternyata tidak berlebihan.
Dengan celana tergulung tinggi,
aku beranjak turun dari perahu. “Assalamu‘alaikum,” sapaku kepada anak-anak
yang bermain.
“Alaekumsalâm,” teriak mereka serentak.
“Lagi
buat apa ini?” tanyaku berbasa basi. Sudah jelas mereka hanya bermain di
pinggir pantai tanpa membuat apa pun.
Keindahan
pasir putih langsung menarik perhatianku. Tidak lagi kudengar jawaban dari
anak-anak manis berkulit legam itu. Di bibir pantai yang putih berkilauan aku
menengadah menatap la-ngit biru nan cerah sembari mengucap syukur pada Sang
Pencipta atas karunianya memperkenankan aku ke tempat ini.
Tak jauh
dari bibir pantai tampak deretan rumah-rumah sederhana semipermanen. Temboknya
papan kayu beratap seng. Ada pula yang berdinding pelepah gewang—tumbuhan
sejenis lontar—dengan atap daun rumbia. Rumah-rumah mungil itu terli-hat seperti
tempat tinggal sementara bagi para nelayan yang sering singgah di sini.
Mataku
menyisir deretan puluhan rumah itu dengan teliti. Salah satunya mungkin yang
aku cari. Namun, rumah-rumah itu tampak lengang tak berpenghuni. Dari arah
perumahan sederhana itu hanya ada suara angin dan ombak laut. Kepalaku mulai
diliputi pertanyaan, kehidupan macam apa yang ada di pulau ini?
“Adek,
rumah Pak Hamdan Sabah di sebelah mana?” tanyaku pada seorang anak laki-laki
kecil yang sedang bermain pasir.
“Itu di
sebelah sana, Kak,” jawabnya sembari mengarahkan telunjuknya ke salah satu
rumah reyot yang beratap daun kelapa.
![]() |
Photo by Deni Sailana |
Kupercepat langkahku menuju arah yang ditunjuknya. Rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu dihubungkan oleh jalan setapak berpasir yang ditumbuhi ilalang di kiri dan kanan, jauh dari kata te-rawat. Tak perlu waktu lama berjalan kaki untuk sampai ke rumah Hamdan. Namun, dari luar aku tidak melihat ada penghuninya.
“Assalamu‘alaikum,” ucapku dari luar pintu.
“Wa‘alaikumsalam,” suara dari dalam menyambutku secara spontan.
Sejurus
kemudian keluar pria tua berkulit hitam dengan me-nyunggingkan senyum yang
ramah. Ia mempersilakan aku masuk tanpa menanyakan identitas dan keperluanku
datang ke sini. Dialah Hamdan, pria 57 tahun yang menjadi tujuanku datang ke
Pulau Kera.
“Ah sudah
kita di sini saja, tidak usah ke dalam. Di sini juga nyaman kok,” kataku
sembari mengambil posisi duduk di atas batang kayu yang ditumpuk di depan
rumah. Ini adalah kayu-kayu bagus. Dilihat dari jenisnya, sepertinya kayu-kayu
ini mereka pa-kai sebagai bahan pembuatan perahu.
Di antara
tumpukan kayu kami duduk dan mengobrol ringan. Kopi susu yang panas sungguh
kontras menemani obrolan kami di siang yang terik itu. “Panas sekali e ..?” kataku dalam dialek Kupang yang
medok. “Itu
sudah... memang panas di sini,’ balasnya.
***
Matahari
sudah tergelincir jauh ke barat saat kami puas meng-obrol. Hamdan, pria tinggi
semampai itu mengajakku berjalan-jalan mengelilingi pulau. Deru ombak, tiupan
angin dan teriakan anak-anak kecil mengiringi perbincangan yang kami lanjutkan
sambil berjalan kaki.
“Kenapa
pulau ini di beri nama kera?” tanyaku padanya. Melihat usianya yang hampir
kepala enam, aku menebak ia banyak mengetahui tentang asal usul tempat ini.
Pria
bertubuh kurus ini pun bercerita, ada beberapa penuturan tentang asal usul nama
pulau ini. “Ada yang menyebut, kata kera
berasal dari kata kea yang dalam
bahasa Rote artinya ‘penyu’,” jelasnya dengan suara pelan, tetapi tegas.
Dahulu,
kata Pak Hamdan, pulau ini berfungsi sebagai lokasi penangkaran penyu atau kea.
Mungkin karena pelafalan yang ber-geser sehingga namanya berubah menjadi Pulau
Kera.
Di sisi
lain ada yang menuturkan, kera
berasal dari kata takera yang dalam
bahasa Solor, Flores artinya ember atau timba. “Dahulu di pulau ini ada sebuah
sumur yang airnya hanya bisa diambil dengan menggunakan takera,” kata tetua Pulau Kera ini.
Setelah
cukup lama kami berjalan, orang tua ini mulai menumpahkan uneg-uneg-nya. “Hidup di pulau ini penuh misteri, semua seperti
nyata karena kami dapat melihat keindahan Pulau Kera, tetapi itu tak seindah
harapan masa depan kami.” Katanya.
Sebelum
aku pahami kalimatnya, orang tua ini menyahut lagi, “Kadang kami menemukan
jawaban dari sebuah pertanyaan pada sebuah keraguan terhadap kondisi kami. Tapi
setelah yakin dan menentukan kepastian, tiba-tiba jawaban kembali diragukan.”
Aku
semakin mengernyitkan dahi. Peluh yang menetes di pipi kuusap dengan tangan
kanan. “Bahkan, untuk membedakan mana yang benar dan salah juga sangat sulit.
Semua jawaban nyata tapi tak seindah harapan. Bila memilih jawaban yang satu,
hati berta-nya, apakah ini keputusan yang benar? Adakah ini jawaban dari Tuhan
atau dari setan? Semua serba membingungkan. Nyata tapi tak seindah harapan,”
berondongnya tanpa bisa disela. Orang ini sama sekali tidak peduli aku gagal
menangkap maksudnya.
“Wah… kok
bisa begitu..?” tanyaku dengan nada serius pada-hal gagal paham. Hamdan
melanjutkan ceritanya, penduduk Pulau Kera tinggal di Wilayah Kabupaten Kupang,
NTT yang masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi seperti bukan
bagian dari NKRI. Setiap kali waktu untuk memilih wakil rakyat saat Pemilu,
semua kandidat pencari suara hilir mudik ke pulau ini, memberi janji-janji yang
tak pernah terbukti.
“Bagaimana bisa terjadi?” tanyaku memotong.
“Jangan
bertanya tentang sekolah, karena anak-anak kami hanya belajar ilmu agama.
Anak-anak kami sangat fasih membaca al-Quran tetapi buta abjad alfabet. Kami
seperti tinggal di Timur Tengah saja,” tandasnya.
Pulau
Kera tak jauh dari Kota Kupang, hanya sekitar 35 menit perjalanan dengan
perahu. Namun di pangkuan provinsi NTT ini pendidikan formal tak pernah
menginjakkan kakinya. Di tempat ini agama menjadi satu-satunya ilmu pengetahuan
yang diajarkan kakek-nenek dan pemuka masyarakat.
Selain
itu, hanya ada ilmu tentang laut. Tak usahlah ditanya pengetahuan mereka
tentang laut karena mereka lahir dan besar di tengah gelombang samudra. Yang
lebih miris, mereka tidak yakin, sebenarnya apa kebangsaan mereka?
“Kami ini
memang Suku Bajo, tapi siapakah sebenarnya kami ini?” desah Hamdan lirih seolah
tanpa harapan. Aku mulai pa-ham sekarang.
Keluh
kesah Hamdan meluncur bagaikan air terjun Oenesu. Nada suaranya semakin
meninggi. Ia berujar, tak ada sekolah di wilayah ini karena warga dilarang
mendirikan fasilitas umum di sana. Yang ada hanya sebuah sanggar belajar anak
yang dikem-bangkan warga bekerja sama dengan para aktivis sosial.
Photo by Deni Sailana |
Proses belajar anak-anak di Pulau Kera hanya digelar melalui Program Peduli yang basisnya sekolah alam. Di dalamnya melibat-kan unsur bermain, bergerak, dan bernyanyi tanpa membutuhkan ruangan khusus. Warga Pulau Kera juga tidak berkesempatan mengakses layanan kesehatan.
Menurut
Hamdan, warganya terbiasa berjuang sendiri dalam segala hal dan bertahan dengan
segala keterbatasan yang mereka miliki. “Tak banyak keinginan kami, hanya ingin
menjadi bagian dari Indonesia dan mendapatkan hak yang sama sebagai warga
negara Indonesia,” ucapnya setengah berteriak. Suaranya bergetar menahan
gejolak dalam hatinya yang menggelora.
“Selalu
ada dalih dari pimpinan daerah bahwa kami ini adalah masyarakat ilegal karena
selalu berpindah-pindah,” tambahnya. “Kami ini Suku Bajo yang merupakan orang
Same atau orang laut. Kami memang nomaden, tetapi tetap selalu dalam lingkup
bumi merah putih.”
Orang
Bajo memang suka hidup berpindah-pindah. Di mana ada perairan, maka di sanalah
Suku Bajo membangun kehidupan. Mereka meninggali pulau-pulau kosong dan
daerah-daerah tak bertuan lainnya. Laut merupakan sumber mata pencaharian utama
masyarakat Bajo ini sehingga di mana pun mereka bisa hidup. Mereka adalah
pembuat perahu dan penangkap ikan yang baik.
Namun, di
sisi lain mereka tidak membangun sistem ekonomi yang permanen. Meskipun
demikian, orang Bajo seperti Hamdan tidak mau disebut kaum tidak jelas. Pada
kenyataannya mereka tinggal di wilayah negara Indonesia dan ingin diakui
keberadaan-nya secara hukum.
***
Tak
terasa, kemilau jingga telah menyeruak di horizon barat pulau ini. Hari sudah
mulai sore dan di sepanjang garis pantai tak lagi terlihat anak-anak bermain.
Dalam embusan angin yang semakin dingin, obrolan kami semakin panas.
“Kami ini
seperti tak dianggap ada,” keluhnya. Berita-berita miring kerap kali mampir di
telinga warga Pulau Kera sehingga membuat semakin gelisah, seperti makam
leluhur akan digusur, pulau ini akan dijual, dan lain-lain. “Lalu ke mana kami
harus pergi? Bagaimana suku kami bisa bertahan?” gugatnya dengan nada khawatir.
Kaki kami
tak merasa lelah sedikit pun meski telah mengi-tari pulau seluas 48 hektare ini
tanpa istirahat. Kini kami sudah kembali di titik awal kami mengobrol tadi.
Hamdan menitipkan pesan agar kami orang kota memahami bahwa warga Suku Bajo
yang berdomisili di Pulau Kera seperti berjalan di antara dunia nyata, tetapi
tak pernah dianggap nyata adanya.
Hamdan
menegaskan, masyarakat Pulau Kera ingin diakui menjadi bagian dari Indonesia
dan mendapatkan hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya di luar
sana. Di Pulau Kera sekarang telah terbentuk sistem sosial, yaitu dua RT dan
satu RW. Namun sejauh ini RT dan RW tersebut belum diakui menjadi bagian dari
pemerintah Kabupaten Kupang.
Saat matahari
pulang ke peraduannya, air laut mulai pasang. Namun, harapan warga Pulau Kera
masih surut sepanjang waktu. Pemerintah Kabupaten Kupang sebenarnya mengakui
keberadaan Suku Bajo di Pulau Kera. Namun, untuk menerbitkan legalitas
kependudukan bagi mereka masih ada hambatan administratif yang menghadang.
Pulau
Kera lokasinya ada di tengah laut yang kawasannya sudah ditetapkan sebagai
Kawasan Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang. Secara de jure seharusnya tidak ada permukiman di kawasan ini.
Berdasarkan
Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
salah satu fungsi taman wisata alam laut adalah sebagai kawasan pelestarian
alam yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan wisata, bukan permukiman. Namun,
bagi Suku Bajo Pulau Kera, yang diperlukan hanya niat untuk menyelesaikan.
Rintangan berbentuk apa pun akan dapat dipecahkan. Sayangnya, niat itu belum
terlihat dari titik terindah di laut Kupang ini.