Selamat datang di official website yayasan Tanpa Batas (YTB), Kupang. Terimakasih atas kunjung Anda...

Indahnya Pulau Kera Tak Seindah Harapannya

Indahnya Pulau Kera Tak Seindah Harapannya




Photo by Deni Sailana

PAGI ITU ANGIN bertiup lembut di Pantai Oeba, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Embusannya membawa gelombang kecil yang menyiratkan nuansa damai dan bersahabat. Berbeda dengan bulan-bulan di penghujung dan awal tahun, pada akhir bulan Agustus seperti ini gelombang laut sangat memanjakan perahu-perahu yang tiap hari hilir mudik dari Pantai Oeba ke Pulau Kera.

Photo by Deni Sailana

Deretan perahu motor berjejalan di dermaga menunggu pe-numpang yang hendak pergi ke pulau yang hanya tampak seperti sebuah titik kecil dalam peta itu. Pulau bernama aneh itu luasnya hanya 48 hektare dan merupakan bagian dari Kawasan Wisata Taman Laut Teluk Kupang. Kalau dilihat dari Kota Kupang, bentuk pulau itu bulat telur dengan salah satu ujungnya sedikit meruncing mirip buah pir.

Aku berdiri mematung sambil melempar pandangan ke salah satu perahu tercantik di kumpulannya. Perahu itulah yang akan kupilih untuk mengantar ke Pulau Kera yang aku dambakan. Tak sabar rasanya aku duduk di geladak kayunya yang terlihat kokoh tanpa cela.

Huup... sebuah langkah panjang berhasil membawaku dari bi-bir dermaga ke geladak perahu. “Apa kabar, Pak?” tanyaku sambil menjabat tangan nakhoda yang juga pemilik perahu. Sebenarnya aku tak mengenalnya, bahkan baru bertemu sekali ini. Namun, setidaknya sapaanku dapat sedikit mencairkan suasana.

“Alhamdulillah, sehat Pak,” jawabnya ramah.
“Berapa lama kita bisa sampai di pulau..?” tanyaku.
“Kalau cuacanya bagus begini, paling lama 45 menit sudah sampai,” jawabnya.
“Oke, kalau begitu kita berangkat sekarang, ya?” pintaku. 
“Baik, Pak,” balasnya sembari beranjak menuju mesin perahu dan menghidupkannya.

Dalam beberapa waktu kemudian, perahu berwarna hijau itu mulai mengarungi lautan. Lambungnya yang ramping bera-yun-ayun mengikuti irama gelombang yang tak pernah berhenti. Hamparan air yang luas tak terbatas membawa lamunanku masuk ke dasarnya yang dalam dan dingin, sedingin hatiku saat itu.

Tiga puluh menit berlalu tanpa terasa. Perahu berharga sewa 300 ribu rupiah itu merapat ke bibir Pulau Kera yang berupa pantai berpasir putih. Sinar mentari yang menembus kumpulan buih yang terbawa ombak tampak bagaikan mutiara berkilau yang memancarkan cahaya. Perahu klotok yang aku tumpangi masuk ke tempat kosong di sela-sela deretan perahu-perahu tradisional yang ditambatkan. Perahu-perahu yang berjajar bergoyang seirama bagai dalam sebuah tarian yang padu.

Sebelum turun dari perahu mataku disambut pemandangan segerombolan anak-anak Suku Bajo yang bermain pasir putih di dekat haluan yang ditambatkan dengan tali nilon. Merekalah anak-anak Pulau Kera. Teriakannya yang keras bersahutan dengan bunyi ombak yang berdebur syahdu. Suasana ceria merasuk ke benakku yang dari tadi memuji keindahan alam pulau kecil ini.

Pulau ini tampak bagaikan lapangan hijau di tengah lautan. Dengan titik tertinggi hanya tiga meter di atas permukaan laut, pulau ini sempurna untuk sekadar singgah dan bermain. Namun, karena tak ada hutan ataupun mangrove, pulau ini tidak cukup baik untuk menunjang kehidupan dalam jangka panjang.

Pulau Kera adalah sebuah daratan cantik di sebelah barat Kota Kupang, Nuta Tenggara Timur. Secara administratif ia ma-suk wilayah Desa Ulasa, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang. Keindahannya menjadi buah bibir para wisatawan.

Sebelumnya aku hanya mendengar cerita tentang pulau ini, tetapi sama sekali belum pernah menyentuhnya. Gambaranku tentang Pulau Kera sebelumnya aku peroleh dari videotron yang terpampang di perempatan jalan depan kantor gubernur NTT. Saat ini, aku menyaksikan dan menyentuhnya sendiri. Pujian orang tentang pulau ini ternyata tidak berlebihan.

Dengan celana tergulung tinggi, aku beranjak turun dari perahu. “Assalamu‘alaikum,” sapaku kepada anak-anak yang bermain. 

“Alaekumsalâm,” teriak mereka serentak. 
“Lagi buat apa ini?” tanyaku berbasa basi. Sudah jelas mereka hanya bermain di pinggir pantai tanpa membuat apa pun.

Keindahan pasir putih langsung menarik perhatianku. Tidak lagi kudengar jawaban dari anak-anak manis berkulit legam itu. Di bibir pantai yang putih berkilauan aku menengadah menatap la-ngit biru nan cerah sembari mengucap syukur pada Sang Pencipta atas karunianya memperkenankan aku ke tempat ini.

Tak jauh dari bibir pantai tampak deretan rumah-rumah sederhana semipermanen. Temboknya papan kayu beratap seng. Ada pula yang berdinding pelepah gewang—tumbuhan sejenis lontar—dengan atap daun rumbia. Rumah-rumah mungil itu terli-hat seperti tempat tinggal sementara bagi para nelayan yang sering singgah di sini.

Mataku menyisir deretan puluhan rumah itu dengan teliti. Salah satunya mungkin yang aku cari. Namun, rumah-rumah itu tampak lengang tak berpenghuni. Dari arah perumahan sederhana itu hanya ada suara angin dan ombak laut. Kepalaku mulai diliputi pertanyaan, kehidupan macam apa yang ada di pulau ini?

“Adek, rumah Pak Hamdan Sabah di sebelah mana?” tanyaku pada seorang anak laki-laki kecil yang sedang bermain pasir.

“Itu di sebelah sana, Kak,” jawabnya sembari mengarahkan telunjuknya ke salah satu rumah reyot yang beratap daun kelapa.



Photo by Deni Sailana
Kupercepat langkahku menuju arah yang ditunjuknya. Rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu dihubungkan oleh jalan setapak berpasir yang ditumbuhi ilalang di kiri dan kanan, jauh dari kata te-rawat. Tak perlu waktu lama berjalan kaki untuk sampai ke rumah Hamdan. Namun, dari luar aku tidak melihat ada penghuninya.
“Assalamu‘alaikum,” ucapku dari luar pintu. 
“Wa‘alaikumsalam,” suara dari dalam menyambutku secara spontan.

Sejurus kemudian keluar pria tua berkulit hitam dengan me-nyunggingkan senyum yang ramah. Ia mempersilakan aku masuk tanpa menanyakan identitas dan keperluanku datang ke sini. Dialah Hamdan, pria 57 tahun yang menjadi tujuanku datang ke Pulau Kera.

“Ah sudah kita di sini saja, tidak usah ke dalam. Di sini juga nyaman kok,” kataku sembari mengambil posisi duduk di atas batang kayu yang ditumpuk di depan rumah. Ini adalah kayu-kayu bagus. Dilihat dari jenisnya, sepertinya kayu-kayu ini mereka pa-kai sebagai bahan pembuatan perahu.

Di antara tumpukan kayu kami duduk dan mengobrol ringan. Kopi susu yang panas sungguh kontras menemani obrolan kami di siang yang terik itu. “Panas sekali e ..?” kataku dalam dialek Kupang yang medok. “Itu sudah... memang panas di sini,’ balasnya.

***

Matahari sudah tergelincir jauh ke barat saat kami puas meng-obrol. Hamdan, pria tinggi semampai itu mengajakku berjalan-jalan mengelilingi pulau. Deru ombak, tiupan angin dan teriakan anak-anak kecil mengiringi perbincangan yang kami lanjutkan sambil berjalan kaki.

“Kenapa pulau ini di beri nama kera?” tanyaku padanya. Melihat usianya yang hampir kepala enam, aku menebak ia banyak mengetahui tentang asal usul tempat ini.

Pria bertubuh kurus ini pun bercerita, ada beberapa penuturan tentang asal usul nama pulau ini. “Ada yang menyebut, kata kera berasal dari kata kea yang dalam bahasa Rote artinya ‘penyu’,” jelasnya dengan suara pelan, tetapi tegas.

Dahulu, kata Pak Hamdan, pulau ini berfungsi sebagai lokasi penangkaran penyu atau kea. Mungkin karena pelafalan yang ber-geser sehingga namanya berubah menjadi Pulau Kera.

Di sisi lain ada yang menuturkan, kera berasal dari kata takera yang dalam bahasa Solor, Flores artinya ember atau timba. “Dahulu di pulau ini ada sebuah sumur yang airnya hanya bisa diambil dengan menggunakan takera,” kata tetua Pulau Kera ini.

Setelah cukup lama kami berjalan, orang tua ini mulai menumpahkan uneg-uneg-nya. “Hidup di pulau ini penuh misteri, semua seperti nyata karena kami dapat melihat keindahan Pulau Kera, tetapi itu tak seindah harapan masa depan kami.” Katanya.

Sebelum aku pahami kalimatnya, orang tua ini menyahut lagi, “Kadang kami menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan pada sebuah keraguan terhadap kondisi kami. Tapi setelah yakin dan menentukan kepastian, tiba-tiba jawaban kembali diragukan.”

Aku semakin mengernyitkan dahi. Peluh yang menetes di pipi kuusap dengan tangan kanan. “Bahkan, untuk membedakan mana yang benar dan salah juga sangat sulit. Semua jawaban nyata tapi tak seindah harapan. Bila memilih jawaban yang satu, hati berta-nya, apakah ini keputusan yang benar? Adakah ini jawaban dari Tuhan atau dari setan? Semua serba membingungkan. Nyata tapi tak seindah harapan,” berondongnya tanpa bisa disela. Orang ini sama sekali tidak peduli aku gagal menangkap maksudnya.

“Wah… kok bisa begitu..?” tanyaku dengan nada serius pada-hal gagal paham. Hamdan melanjutkan ceritanya, penduduk Pulau Kera tinggal di Wilayah Kabupaten Kupang, NTT yang masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi seperti bukan bagian dari NKRI. Setiap kali waktu untuk memilih wakil rakyat saat Pemilu, semua kandidat pencari suara hilir mudik ke pulau ini, memberi janji-janji yang tak pernah terbukti.

“Bagaimana bisa terjadi?” tanyaku memotong.
“Jangan bertanya tentang sekolah, karena anak-anak kami hanya belajar ilmu agama. Anak-anak kami sangat fasih membaca al-Quran tetapi buta abjad alfabet. Kami seperti tinggal di Timur Tengah saja,” tandasnya.

Pulau Kera tak jauh dari Kota Kupang, hanya sekitar 35 menit perjalanan dengan perahu. Namun di pangkuan provinsi NTT ini pendidikan formal tak pernah menginjakkan kakinya. Di tempat ini agama menjadi satu-satunya ilmu pengetahuan yang diajarkan kakek-nenek dan pemuka masyarakat.

Selain itu, hanya ada ilmu tentang laut. Tak usahlah ditanya pengetahuan mereka tentang laut karena mereka lahir dan besar di tengah gelombang samudra. Yang lebih miris, mereka tidak yakin, sebenarnya apa kebangsaan mereka?

“Kami ini memang Suku Bajo, tapi siapakah sebenarnya kami ini?” desah Hamdan lirih seolah tanpa harapan. Aku mulai pa-ham sekarang.

Keluh kesah Hamdan meluncur bagaikan air terjun Oenesu. Nada suaranya semakin meninggi. Ia berujar, tak ada sekolah di wilayah ini karena warga dilarang mendirikan fasilitas umum di sana. Yang ada hanya sebuah sanggar belajar anak yang dikem-bangkan warga bekerja sama dengan para aktivis sosial.


Photo by Deni Sailana


Proses belajar anak-anak di Pulau Kera hanya digelar melalui Program Peduli yang basisnya sekolah alam. Di dalamnya melibat-kan unsur bermain, bergerak, dan bernyanyi tanpa membutuhkan ruangan khusus. Warga Pulau Kera juga tidak berkesempatan mengakses layanan kesehatan.

Menurut Hamdan, warganya terbiasa berjuang sendiri dalam segala hal dan bertahan dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. “Tak banyak keinginan kami, hanya ingin menjadi bagian dari Indonesia dan mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara Indonesia,” ucapnya setengah berteriak. Suaranya bergetar menahan gejolak dalam hatinya yang menggelora.

“Selalu ada dalih dari pimpinan daerah bahwa kami ini adalah masyarakat ilegal karena selalu berpindah-pindah,” tambahnya. “Kami ini Suku Bajo yang merupakan orang Same atau orang laut. Kami memang nomaden, tetapi tetap selalu dalam lingkup bumi merah putih.”

Orang Bajo memang suka hidup berpindah-pindah. Di mana ada perairan, maka di sanalah Suku Bajo membangun kehidupan. Mereka meninggali pulau-pulau kosong dan daerah-daerah tak bertuan lainnya. Laut merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat Bajo ini sehingga di mana pun mereka bisa hidup. Mereka adalah pembuat perahu dan penangkap ikan yang baik.

Namun, di sisi lain mereka tidak membangun sistem ekonomi yang permanen. Meskipun demikian, orang Bajo seperti Hamdan tidak mau disebut kaum tidak jelas. Pada kenyataannya mereka tinggal di wilayah negara Indonesia dan ingin diakui keberadaan-nya secara hukum.

***

Tak terasa, kemilau jingga telah menyeruak di horizon barat pulau ini. Hari sudah mulai sore dan di sepanjang garis pantai tak lagi terlihat anak-anak bermain. Dalam embusan angin yang semakin dingin, obrolan kami semakin panas.

“Kami ini seperti tak dianggap ada,” keluhnya. Berita-berita miring kerap kali mampir di telinga warga Pulau Kera sehingga membuat semakin gelisah, seperti makam leluhur akan digusur, pulau ini akan dijual, dan lain-lain. “Lalu ke mana kami harus pergi? Bagaimana suku kami bisa bertahan?” gugatnya dengan nada khawatir.

Kaki kami tak merasa lelah sedikit pun meski telah mengi-tari pulau seluas 48 hektare ini tanpa istirahat. Kini kami sudah kembali di titik awal kami mengobrol tadi. Hamdan menitipkan pesan agar kami orang kota memahami bahwa warga Suku Bajo yang berdomisili di Pulau Kera seperti berjalan di antara dunia nyata, tetapi tak pernah dianggap nyata adanya.

Hamdan menegaskan, masyarakat Pulau Kera ingin diakui menjadi bagian dari Indonesia dan mendapatkan hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya di luar sana. Di Pulau Kera sekarang telah terbentuk sistem sosial, yaitu dua RT dan satu RW. Namun sejauh ini RT dan RW tersebut belum diakui menjadi bagian dari pemerintah Kabupaten Kupang.

Saat matahari pulang ke peraduannya, air laut mulai pasang. Namun, harapan warga Pulau Kera masih surut sepanjang waktu. Pemerintah Kabupaten Kupang sebenarnya mengakui keberadaan Suku Bajo di Pulau Kera. Namun, untuk menerbitkan legalitas kependudukan bagi mereka masih ada hambatan administratif yang menghadang.

Pulau Kera lokasinya ada di tengah laut yang kawasannya sudah ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang. Secara de jure seharusnya tidak ada permukiman di kawasan ini.

Berdasarkan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, salah satu fungsi taman wisata alam laut adalah sebagai kawasan pelestarian alam yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan wisata, bukan permukiman. Namun, bagi Suku Bajo Pulau Kera, yang diperlukan hanya niat untuk menyelesaikan. Rintangan berbentuk apa pun akan dapat dipecahkan. Sayangnya, niat itu belum terlihat dari titik terindah di laut Kupang ini.